CERPEN SEPATU
Oleh Eep Saefulloh Fatah
Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.
Ketika hujan mulai menderas, anak-anak Kang Soleh kulihat segera berlarian keluar, bertelanjang dada. Teriakan-teriakan kegembiraan mereka, gemuruh curahan air dari langit dan gelegar petir, bercengkerama sahut menyahut di tegalan depan. Ketika hujan mereda, mereka pulang dengan bibir membiru dan badan menggigil bergetar. Tapi, mata mereka memancarkan kegembiraan.
Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.
Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentonggentong air kami yang kerontang selama kemarau.
Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, Sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.
Datangnya musim penghujan membuat kampong kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampong kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.Maka, kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar tapi selalu saja tiba.[...]